2 February 2015

Murphy's Law

Semalem gue baru nonton Interstellar. I can say it is a BRILLIANT movie, though I don’t really understand the scientific things from the movie. Waktu gue nonton, gue cuma ha’ah-he’eh doang kalo pemerannya lagi ngomongin rumus-rumusan fisika. Kalau udah mulai muncul bahasa-bahasa ilmiah yang kurang umum didengar, gue juga ha’ah-he’eh aja. Abisan ganggu banget kalau setiap ada kata yang gue nggak ngerti, gue harus translate dulu (gue nonton yang English subbed). Sabodo teuing, “Yang penting gue ngerti jalan ceritanya”, pikir gue.


Setelah fimnya abis, gue menghela nafas. Alih-alih tidur, gue diam sejenak membayangkan luar angkasa. Maklum, lagi kena post-watching syndrome. Karena gue masih penasaran dengan konsep ilmiahnya, gue Googling untuk mencari tahu penjelasannya. WELL, gue puas banget sama penjelasan beberapa Blogger yang ada. Sama seperti penonton pada umumnya, gue paling bingung sama konsep dilatasi waktu dan konsep dimensi (the who are ‘they’ concept). Walaupun nggak segitu pahamnya, tapi gue alhamdulillah sudah lebih paham dibanding sebelum membaca penjelasan-penjelasan tersebut.

Sebenernya pada awal film gue berpikir, “Takdir manusia itu kan kiamat di bumi. Ngapain sih susah-susah cari planet di luar Bumi untuk menghindari kehancuran? Itu sih namanya melawan kekuasaan Tuhan,”. Ah, namanya juga film. Jangankan konsep kiamat, konsep Tuhan saja banyak perbedaan. Nonton film mah ngga usah serius-serius amat. Film seperti ini ada buat dinikmati, bukan buat diteliti hehehee.

Hanya saja, kemudian hari ini gue berkontemplasi… “Mengapa ya, (ini dan itu) terjadi pada gue?”. Ternyata film tersebut bukan cuma sekedar bisa buat dinikmati. Melainkan bisa diambil hikmahnya. Secara tidak sadar, manusia sering mempertanyakan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan sekitarnya. Rasa ingin tahu memang ada di dalam diri setiap manusia karena sudah merupakan fitrah manusia. Berawal dari rasa ingin tahu inilah kemudian manusia menjawab keingintahuannya dengan berpikir filosofis; berpikir secara radikal, sistematis, dan kritis.

Satu hal yang gue sadari, manusia memiliki batas. Kalau manusia beranggapan dirinya tidak memiliki batas, maka dia akan selalu mencari tahu jawaban atas pertanyaan yang dimilikinya tanpa berhenti pada suatu kesimpulan. Kenyataannya, suatu tanda tanya akan mengungkap tanda tanya lainnya. Begitu seterusnya sampai level infinity.

Pertanyaan gue tadi siang tersebut mengingatkan gue pada film Interstellar yang gue tonton tadi malam. Seperti film brilian Christopher Nolan yang biasanya, Interstellar juga meninggalkan tanda tanya pada penontonnya. Pada akhir film, Cooper menyimpulkan bahwa ‘they’ adalah dirinya sendiri ketika berada pada dimensi kelima buatan manusia masa depan. Lalu muncul pertanyaan, “Bagaimana jika Cooper tidak masuk ke black hole dan bumi tidak terselamatkan? Manusia masa depan itu siapa dong?”. Nah lho, emang bingung kalau nggak sadar kita ini punya batasan.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita diingatkan oleh Murphy’s Law yang terus-terusan disinggung sejak film dimulai. Murphy’s Law yang asli menyebutkan bahwa, “Anything that can go wrong, will go wrong”. Tapi mengenai Murphy’s Law, Cooper punya perbedaan point of view


“Murphy’s law doesn’t mean that something bad will happen. It means that whatever can happen, will happen”. 

Setuju banget sama Cooper, whatever can happen will happen. Intinya, manusia masa depan itu ada karena bagaimanapun juga Cooper pasti masuk ke black hole dan mengirimkan pesan ke Murphy. Hal itu merupakan peristiwa yang sudah digariskan terjadi. Siapa yang menggariskannya? Ya sutradara filmnya, hahaha.

Nah, itu kan kalau ngomongin film. Kalau ngomongin kehidupan nyata bagaimana? Berkaca dari kesimpulan tadi, semua yang terjadi pada kehidupan telah digariskan oleh Sang Sutradara. Lalu siapa sutradara ‘film’ yang gue mainkan saat ini? Allah SWT jawabnya. Melalui kontemplasi tadi siang, gue diingatkan kembali oleh Allah bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini ada yang mengatur. Kita di sini hanya pemain yang melakoni skrip Sang Sutradara. Kita bisa melakoni skrip dengan gaya apapun yang kita inginkan. Tapi kita harus ingat, bahwa alur ‘film’ kita sudah diatur dalam ‘skrip’Nya.

Jadi, kalau boleh sedikit curcol, tadi siang gue menitikan air mata. Gue sedih dengan apa yang gue alami beberapa waktu terakhir ini. Gue merasa Allah tidak adil. Kenapa orang lain bernasib seperti 'itu', sedangkan gue bernasib seperti 'ini'. Kalau bisa gue memutar waktu, gue akan hindari semuanya sehingga gue tidak perlu menjadi seperti ini. There are some events I wish I could fix or avoid.

But then I wake up. Ngapain berandai-andai? Toh semua sudah terjadi. Whatever can happen will happen, kalau menyinggung Murphy’s Law. Gue nggak usah bertanya kenapa hal ini atau hal itu terjadi sama gue. They just happen.

Kemudian gue teringat akan perkataan kakak gue. Dia bilang,

Everything happens for a no reason”. 

Awalnya gue bingung. Tapi kemudian kakak gue mengajukan pertanyaan, "Emangnya kamu tahu kenapa Mama tugas kerjanya di Sumatera? Kenapa nggak di Pulau Jawa aja?". "Hmmm, memang barokahnya di situ?", gue jawab. "Itu kan persepsi kamu aja. Kamu mah nggak tau alasan konkretnya apa. Yang tau ya cuma Allah", begitu kakak gue bilang. "Tapi persepsi kamu itu bukan berarti salah. Kita memang harus punya persepsi yang baik sama Allah. Yang penting kita berhusnudhon-billah, percaya sama Allah yang baik-baik aja", lanjutnya. "Everything happens for no reason to us, but Allah", kakak gue menyimpulkan.

I couldn't agree more! Dengan berpikir seperti itu, gue nggak perlu sulit-sulit mencari alasan atas terjadinya suatu event dalam kehidupan kita. Allah pasti punya alasan, dan itu pasti alasan yang sangaaaaat baik di mataNya.


"....boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" 
(QS:Al-Baqarah:216)

Gue pernah dikecewakan oleh plot hidup gue yang nggak sesuai sama yang gue bayangkan. Gue rasa, semua orang pernah ya? Tapi dari kekecewaan itu gue belajar, bahwa nggak semuanya berjalan seperti apa yang kita impikan. Kita punya plot, Allah juga punya plot. Dan semuanya bukan terjadi sesuai dengan plot kita, melainkan plot Allah. Dan plotNya tentu jauh lebih baik daripada plot kita. 

Sejujurnya sih, sebagai manusia biasa, terkadang gue kecewa ketika merasa apa yang gue harapkan tidak kunjung terjadi. Gue kecewa ketika merasa plot Allah dan plot gue begitu berbeda. Tapi gue selalu camkan pada diri sendiri, kalau saat ini gue sedang menjalani plotnya Allah, bukan plot gue sendiri. Dan gue kembali optimis kala mengingat bahwa plot Allah bisa saja berubah seiring dengan doa yang gue panjatkan. Mungkin doa gue belum dikabulkan karena doa-doa itu terkirim untuk menghapus dosa-dosa gue? Who knows.
So, instead of questioning our own plot twist, jalani saja plot yang ada, and be surprised.

No comments:

Post a Comment