Manusia itu ternyata… Bagaikan bunglon.
Bunglon, kalau kata kamus sih, adalah kadal yang hidup di pohon, dapat
bertukar warna menurut tempatnya. Menangkap dari definisi tersebut, manusia
sebelas dua belas lah ya sama bunglon. Kenapa gue katakan seperti itu? Karena
sama seperti bunglon, manusia memiliki fleksibilitas yang cukup tinggi dalam
mengubah warna ‘kulit’nya. Let’s just say, kulit bagi bunglon adalah pakaian
bagi manusia (humans can not change their skin like bunglon lol). Entah ya,
bunglon mengubah warna kulitnya under conscious or not, but most of humans do
this unconsciously. Terkecuali yang memang memiliki banyak warna ‘pakaian’ ya,
hehehe.
Pakaian, dalam tanda kutip, yang gue maksud adalah sesuatu yang
membungkus manusia yang memberikan bentuk pada manusia itu. Nah, ‘pakaian’
tersebut merupakan kombinasi antara perilaku, sudut pandang, cara berpikir, dan
sebagainya. Hngggg…….. Maaf ya agak sotoy, hahaha.
Sebenarnya kesimpulan kalau manusia dan bunglon are similar itu gue
dapatkan dari pengalaman hidup gue sendiri. Exactly-nya sih terinspirasi sama
ucapan seorang teman yang waktu itu lagi berdiskusi tentang cara berpakaian
muslimah yang benar. Sama seperti gue, dia memakai kerudung. Kalau dalam aturan
Islam, pakaian muslimah itu tidak ketat dan menerawang. Sebenernya masih banyak
sih, tapi waktu itu kita lagi concern sama baju ketat. Dia bilang kalau, “Gue
kalau lagi ngaji yah pakai baju yang besar-besar. Tapi gue nggak janji kalau
lagi ke kampus atau ke mana gitu. Kan mau ngikutin fashion, De”. Kemudian dia
melanjutkan, “Manusia tuh kaya bunglon, tau. Kalau lagi di sini ya ngikutin
‘aturan’ sini. Kalau lagi di sana ya ngikutin ‘aturan’ sana”. And I was like,
“Iya ya bener juga”.
Kemudian setelah mendengar perkataan dia, gue merasakan sendiri kalau
kita, manusia, sebelas dua belas sama bunglon. Nggak hanya sekedar pakaian
secara literal yang selalu
menyesuaikan, tetapi pakaian dengan tanda kutip tadi, juga ikut menyesuaikan. Ada
banyak sisi yang membuat ‘pakaian’ kita berbeda-beda di tiap lingkungannya. Dari
mulai perilaku, sudut pandang, cara berpikir, sampai itu tadi, cara berpakaian
itu sendiri. Well, apa yang gue bahas nanti nggak akan jauh-jauh dari kata
pepatah, “Bergaul dengan tukang minyak wangi, maka kau akan terkena harumnya.
Bergaul dengan tukang abu arang, maka kau akan terkena hitamnya”. Itu sih
sebenernya kesimpulan dari pembahasan gue nanti.
Alhamdulillah gue diberkahi dengan keberadaan teman-teman yang datang
dengan berbagai latar belakang. Teman-teman ini gue dapatkan dari lingkungan
yang berbeda-beda. I’m glad that gue ternyata selama ini hidup di lingkungan
yang cukup beragam sehingga mendapatkan pengalaman yang cukup beragam. Tapi
alhamdulillah gue selalu mengambil positifnya (and mostly are positives).
Tanpa menyebutkan nama dan lingkungannya gue mungkin bisa berbagi
pengalaman tentang apa yang gue dapatkan selama berteman dengan teman-teman
yang amazing, tapi tidak secara
gamblang.
Ada lingkungan yang membuat gue belajar menjadi seorang muslimah yang
sempurna. Di sini gue mendapatkan teman-teman yang memiliki pemahaman agama
yang dalam, sehingga gue banyaaaaak sekali belajar dari mereka. Berteman dengan
mereka membuat gue sadar akan banyaknya kekurangan gue selama ini (dari sisi
agama). Tekad untuk menjadi muslimah yang sesungguhnya menjadi amat besar.
Selalu ada keinginan untuk menancapkan kepahaman agama lebih dalam setiap
harinya. Terdapat kedamaian yang indah yang gue rasakan dari mereka. Tapi, ada
kalanya gue merasa gue tidak bisa bebas menjadi diri gue yang sebenarnya. Apa
ya maksudnya, suka kadang terbebani gitu kalau gue ini masih belum sepaham
seperti mereka. Ada sebagian teman yang memang nggak cocok sama gue karena
masih ada hal nyeleneh yang melekat pada diri gue. Tapi ada sih sebagian yang sama
nyelenehnya kaya gue, makanya cocok. Pokoknya di sini gue menjadi orang yang
religius deh. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah seseorang dengan tingkat
religius yang cukup tinggi, melihat berbagai macam hal dari sudut pandang
agama.
Berpindah lingkungan, pada lingkungan ini gue bisa mengekspresikan
diri gue dengan sebenar-benarnya. Kalau dibilang paling nyaman, ya di sini
tempatnya. Bersama teman-teman yang udah tau seberapa cepatnya gue mandi atau
jadwal buang air besar gue. Menjadi diri sendiri, ya bersama mereka ini. Otak
hemat/irit yang gue miliki ya keluaran mereka-mereka ini. Pokoknya kita punya
kecocokan yang nggak ada duanya. Mulai dari otak hemat, selera humor, tingkat
kegalauan, akademis, bercandaan, omongan berat, gosip, sampai norak-noraknya,
hampir semuanya cocok. Pokoknya gue bisa menjadi diri gue sendiri tanpa harus
ngumpet-ngumpetin diri gue yang sesungguhnya dari mereka. Sampai-sampai gue
sering banget jadi bahan pembully-an. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah
seseorang yang sederhana dan apa adanya.
Berpindah lingkungan, pada lingkungan ini gue menjadi sosok yang lebih
dewasa. Bersamaan dengan itu, tingkat kegilaan bisa dibilang meningkat.
Pokoknya temen-temen gue di sini jenisnya lebih beragam, nggak seragaman. Here,
setiap orang punya peran masing-masing. Peran gue di sini, lebih ke sosok yang
dewasa. Tapi karena ada temen gue yang gila, jadi gue suka ikut-ikutan gila.
Pokoknya gue banyak belajar kegilaan dari dia deh. Banyak seru-seruannya kalau
sama mereka. Well, tingkat kehedonan bisa meningkat sih ketika bersama mereka.
Otak hemat yang sebenernya tertanam di gue harus dikendorkan. Nggak bisa deh,
menilai sesuatu hanya dari sudut pandang agama. Ketika bergaul dengan mereka,
Dea adalah seseorang yang having fun, and fun, and fuuuuuun!
Berpindah lingkungan, pada lingkungan ini……. Full of gosips! Mau nggak
didrama-dramain, tapi menurut gue hidup kita drama. Hahahaha ngomong apaansih.
Setiap orang di sini punya ciri khas yang berbeda-beda. Gue masih susah
menilainya in general. Intinya, ketika bersama mereka, insting ngegosip gue
jadi besaaaaar sekali, karena mostly kerjaan kita ya ngegosip. Hahahaha, tapi
nggak selalu lah ya. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah seseorang yang
lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Itu sih sebagian yang bisa gue bagikan. Intinya gaya ‘pakaian’ gue
secara nggak sadar menyesuaikan dengan lingkungannya. Nggak tau ya, ini terjadi
pada diri gue doang atau bagaimana. Yang selama ini gue rasakan sih, ya itu….
Kita memakai ‘pakaian’ yang berbeda pada tiap lingkungannya, tetapi bukan
berarti diri kita adalah diri yang berbeda. Misalkan, simple-nya begini, ketika
gue sedang bersama teman-teman yang religius, gue jadi tergerak oleh mereka
untuk solat lima waktu pada awal-awal waktu solat. Gue sendiri memang sadar
akan kewajiban solat. Jadi gue bersyukur sekali bisa diajak menunaikan solat,
bukan guenya yang narik-narik orang buat, “Ayok, solat!”. But when I’m with
not-so-religious friends, gue jadi ikut-ikutan menomorduakan solat karena
kebawa suasana. Pada akhirnya gue yang ngajak, “Ayok, solat!”.
Haduh, pikiran manusia tuh ribet ya. Kaya pikiran gue ini. Sulit
banget dituangkan dalam tulisan. Emang suka ada-ada aja yang melintas kalau
lagi bengong di bis atau di toilet. Seperti pemikiran pada entry ini. Ya
intinya sih begini; manusia kan pintar, dia bisa menyesuaikan dirinya di
lingkungan yang berbeda-beda. Tetapi jangan sampai hal ini membuat kita tidak
tahu, mana warna diri kita yang sesungguhnya. Intinya punya prinsip. Udah, gitu
ajah. Hahaha maaf ya kalo nggak jelas. Have a good day, people!
Image credit to fotohewan.blogspot.com