22 February 2014

Be The Change

Pernah nggak sih lo ngeluh akan sesuatu?
Most of people did. Including me.

Sebagai orang Jakarta (pinggiran sih wkwk), gue lumayan sering mengeluhkan macetnya Jakarta dan printilan-printilannya. Paling bete tuh kalau jalan Ciledug Raya mulai kambuh setiap pagi on weekdays. Damn, waktu gue habis satu setengah jam cuma buat menelusuri jalanan lurus yang sesungguhnya bisa ditempuh hanya dalam 25 menit dari rumah gue! Nggak heran sih gue, orang Jakarta cepet tua.

Credit to: mizan.com
  Kalau lagi macet kaya gitu gue suka melirik kanan-kiri jendela... Dan yang banyak gue lihat adalah mobil-mobil dengan satu awak. Miris. Man, di dalem bis yang gue naikin ada 30 orang. Dan bis ini hanya menyita sekitar 3 meter bagan jalan. Sedangkan mereka yang naik mobil sendirian, telah menghabiskan sekitar 2 meter bagan jalan untuk dirinya sendiri. Seandainya ada 30 orang yang menggunakan 30 mobil berbeda, itu artinya ada 60 meter bagan jalan yang mereka pakai. Bandingkan dengan 30 orang yang berada di bis, kami hanya menggunakan 3 meter bagan jalan. Wow, 1 : 20! Seandainya semua orang di Jakarta naik angkutan umum, Insya Allah Jakarta berkurang macetnya.

Gue bukan orang yang setiap saat naik angkutan umum, sih. Naik mobil pribadi jelas lebih nyaman ketimbang mesti desek-desekan dan bau-bauan di bis atau angkutan umum lainnya. Gue juga nggak heran, mengapa orang-orang banyak yang lebih memilih naik mobil pribadi ketimbang public transportation. Tapi coba deh, kita bikin kota ini nyaman bersama-sama. Toh, yang menikmati kita-kita ini juga. Kalau lo udah muak sama macetnya Jakarta dan menginginkan adanya perubahan, ya mulailah perubahan itu dari diri lo sendiri. Jangan cuma ngeluh, tapi lo nya sendiri masih aja naik mobil ke manapun dan kapanpun. It won't make any difference.

Banyak orang yang keukeuh nggak mau naik angkutan umum karena alasan keamanan dan kenyamanan. Well, kalau lo belum coba sendiri, nggak usah banyak basa-basi. Coba dulu lah. Nggak semua angkutan umum begitu kok. Contohnya seperti busway dan commuter line. I really enjoy the ride when using those public transportations, even when I don't get the seat. Angkutan umum semacam angkot, metro mini, kopaja, patas AC, dan sebagainya juga sebenarnya aman dan nyaman-nyaman aja. Ya, pintar-pintar aja menyesuaikan diri. Jangan berdandan berlebihan, memakai pakaian yang mengundang perhatian, dan mengexpose gadget kalian.

Di samping itu, naik angkutan umum tuh banyak manfaatnya. Bisa jadi ladang pelajaran hidup. Di situlah gue tersadar betapa gue masih lebih beruntung ketimbang pengamen-pengamen yang mondar-mandir dari satu bis ke bis lainnya. Di situlah gue melihat dan mendengar betapa banyak latar belakang berbeda yang manusia bawa. Di situlah gue belajar mencapai tujuan sendiri.

Kemauan kalian untuk naik public transportation itu amat membantu pemerintah dalam mengurangi kemacetan Jakarta. Nggak mesti setiap saat naik angkutan umum, sekali-sekali aja sudah membantu kok. Terutama kalau weekdays. Pemerintah juga bekerja keras terus meningkatkan kualitas dan kuantitas public transportation. Lihat aja, MRT sedang dibangun. Mudah-mudahan bener-bener jadi solusi tambahan yang membantu. Sekarang tinggal bagaimana kita menyelesaikannya bersama pemerintah. Karena ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga warga dan seluruh elemennya.

Selain issue macet, gue juga gatel dengan issue sampah. Kenapa sih susah banget buang sampah di tempat sampah? Gue gatel banget ngeliat terlalu banyak orang Indonesia yang nggak aware sama issue ini. Gue bicara seperti ini bukan tanpa alasan. Gue melihat dengan mata kepala gue sendiri, justru banyak orang tua yang mengajarkan anaknya untuk buang sampah di mana saja sesuka hatinya. Miris banget ngeliatnya.

Memang sih, kalau gue perhatikan, kebiasaan buruk ini banyak dilakukan oleh warga menengah ke bawah. Tapi nggak sedikit juga warga terdidik yang masih melakukan kebiasaan buruk ini. Harusnya, kita sebagai warga terdidik jangan sampai membodohi diri sendiri. Mulailah dari kebiasaan kecil. Kalau punya sampah, jangan dibuang di jalan, sungai, atau ditinggalkan begitu aja. Kalau nggak nemu tempat sampah, simpen aja di tas lo. Baru pas sampai rumah, lo buang sampah-sampah yang ada di tas lo ke tempat sampah deh. Apes-apesnya lo lupa kalo nyimpen sampah, ya nggak papa. At least lo ngerugiin diri lo sendiri, bukan ngerugiin orang lain.

Nggak usah muluk-muluk jadi duta lingkungan atau aktivis lingkungan untuk bisa memberi kontribusi bagi lingkungan. Sekali lagi, mulailah perubahan dari diri lo sendiri. Mulai dari yang kecil. Cukup membiasakan diri lo untuk buang sampah di tempat sampah aja, itu sudah merupakan bentuk kontribusi. Tempat sampah sebanyak apa pun nggak akan bisa mengubah lingkungan seandainya kebiasaan membuang sampah di tempat sampah nggak dimunculkan.

Banyak hal-hal kecil yang tidak disadari bisa membuat perubahan besar. Mulailah dari hal-hal kecil, karena satu perubahan besar berawal dari yang kecil. Mulailah dari diri sendiri, karena kalau bukan kita, siapa lagi. Gue di sini berbicara tidak bermaksud seperti layaknya orang yang sempurna. Mari kita belajar bersama-sama, belajar untuk menjadi perubahan.

Seperti yang Michael Jackson bilang in his Man in The Mirror song,

"I'm starting with the man in the mirror
I'm asking him to change his ways
and no message could've been any clearer
if you wanna make the world a better place
take a look at yourself then make a change"

So guys, take a look at yourself, and let's make the change!

20 February 2014

College Life

Kuliah.

Dulu –sebelum menjadi anak kuliahan— gue selalu excited setiap mendengar kata itu. Nggak tau, ngeliatin anak kuliahan tuh seru abis. Bebas dan banyak waktu luang. Yah, gambaran FTV lah.

Gue kira kehidupan kuliah gue bakal seseru itu. Tapi ternyata…..



Meme-nya menggambarkan lah ya. Nggak usah dijelasin.

I’m not saying college life is not fun. It’s fun! Yes, IT IS. Tapi banyak rintangan yang harus dilalui di sela-sela bagian menyenangkannya. Seperti saat ini. Saat ketika Lab SDA gue belum kunjung mendapat pencerahan, peta konsep MPKT A belum jadi, worksheet Alin masih kosong, kuis online belum disentuh, dan bahan ajar video SDA belum ditonton. Alhamdulillah, PPSI & Adbis masih baik. WHOA, begini toh jadi anak kuliahan.

Sebenernya saat ini kepala gue masih aman, nggak dalam kondisi mau pecah. Masih awal-awal semester, jadi masih fresh wkwkwk. Lagian gue masih gabut, masih kupu-kupu semester ini. Cuma ya gue pengen curhat aja, betapa kehidupan gue berubah menjadi amat padat semenjak sesuatu bernama kuliah datang pada kehidupan gue.

Kuliah gue rasa tidak akan menjadi semelelahkan dan sepadat ini kalau gue nggak kuliah di jurusan ini. Kuliah di sini susah… Buat gue. Kenapa susah? Karena gue mempelajari sesuatu yang belum pernah gue sentuh sebelumnya. Biarkan gue mencurahkan sejenak ya, apa yang gue alami selama kuliah di sini.

Jadi, di Sistem Informasi itu kita belajar komputer dan manajemen. Ya intinya kita belajar ngoding iya, manajemen juga iya. Belajar manajemen sih buat gue menyenangkan… Jadi sesusah apa pun nggak papa. Cuma belajar komputernya itu loh, HWAAA! Please note ya, gue bukan belajar Microsoft Excel dan kawan-kawan atau hardware komputer. Di sini kita belajar pemrograman untuk mempermudah manusia melakukan kegiatan sehari-hari. Nah, belajar pemrograman itulah yang menyulitkan (biasanya disebut ngoding). Duh gila, respek gue amat begitu tinggi pada programmer-programmer di luar sana. Bahkan nggak usah jauh-jauh, yang ada di fakultas gue respek setinggi-tingginya.

Meskipun susah, sejujurnya gue menikmati kuliah di sini hehehe. Ternyata seru juga belajar programming. Bener-bener melatih logika. Terus juga ada sensasinya gitu tiap kodingannya berhasil. KALAU berhasil hahahahaha. Yang membuat lelah itu emang biasanya tugas ngoding. Soalnya gue belum secanggih programmer-programmer seharusnya, hiks.

BTW, gue mau buat pengakuan. Masa baru dua minggu kuliah semester 2, udah 3 kali aja gue skip kelas :-( Ya Allah, kapan ya gue kapok skip kelas. Emang sih, semuanya gara-gara telat, bukan males. Tapi tetep aja judulnya skip kelas. Fufufu padahal resolusi 2014 gue adalah mengurangi skip kelas. 

Gue sendiri heran, masih jadi maba udah sering banget skip kelas. Ngga tau diri banget ya hahaha. Serius deh, semester kemarin itu gue seringggg banget ngeskip kelas. Alasannya sih gara-gara dosennya kurang jelas, dan yang ada gue malah tidur di kelas. Mendingan gue belajar sendirian dari slide di perpusat. Dari 5 matkul, cuma dua matkul yang nggak pernah gue skip, yaitu DDP & MPKT B. Tiga matkul sisanya, gue cuma masuk sekitar setengah presensi dari yang seharusnya. Parah bet yak wkwk. Alhamdulillah, punya teman-teman yang mau berbaik hati dititipkan absen oleh gue. Saking seringnya skip kelas, gue cuma menargetkan, "Lulus aja udah alhamdulillah". Eh, tapi alhamdulillah banget IPK gue melebihi ekspektasi. Xixixi, happiness = reality - expectation.

Semester ini dan ke depannya gue nggak boleh males-malesan lagi. Harus tetap semangat! Sesulit apa pun harus tetap dijalani. "When you think you want to give up, think again about why you started".

Over-all gue bersyukur bisa mendapatkan semua ini. Sekarang gue mau fokus kuliah, jadi lulusan yang berkualitas, jadi eksmud sukses! Hihihihihi. Gue juga mau menikmati semua yang gue lewati di sini. Karena semua tidak akan datang dua kali. Alhamdulillah, gue adalah orang yang menghargai setiap momen yang gue lewati. Jadi gue belum pernah merasakan penyesalan mendalam karena telah melewatkan momen-momen yang terlewati.

"Time is like a river. You can not touch the same water twice, because the flow that has passed will never pass again. So enjoy every moment of life as it comes."

11 February 2014

Introvert


When you're at a party, do you suddenly feel the derperate urge to escape somewhere quiet such as a toilet cubicle and just sit there? Until I read Quiet, I thought it was just me. I'd see other partygoers grow increasingly effervescent as the night wore on and wonder why I felt so compelled to go home. I put it down to perhaps there not being enough iron in my diet. But it's not just me. It's a trait shared by introverts the world over. We feel this way because our brains are sensitive to overstimulation. I am genuinely astonished by this news. In fact, I read much of Susan Cain's book shaking my head in wonder and thinking: "So that's why I'm like that! It's because I'm an introvert! Now it's fine for me to turn down party invitations. I never have to go to another party again!"

Paragraf di atas adalah penggalan artikel yang baru-baru ini gue baca. Ditulis oleh Jon Ronson dari The Guardian. Artikel tersebut membahas buku Susan Cain yang berjudul Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking. Begitu membaca artikel tersebut, ketertarikan gue dengan topik ini semakin besar. “Ini gue banget!”, pikir gue. As soon as possible, gue akan beli buku Susan Cain ini, dan membagi apa yang gue dapatkan di sini. Duh, jadi nggak sabar pengen cepet-cepet beli bukunya.



Dulu, waktu duduk di bangku SD, I didn’t find myself an introvert. Gue punya banyak teman, gue senang bermain dengan orang banyak, gue doyan panggung (karena sering disuruh naik ke panggung), gue sering ditunjuk menjadi perwakilan dalam berbagai lomba, guru-guru tahu gue. Pokoknya menjadi pusat perhatian bukanlah sebuah masalah.

Yeah, that was me.

Sampai akhirnya, ketika duduk di bangku SMP, semua berubah. Gue tidak lagi bergaul dengan banyak teman, gue tidak lagi bermain dengan bigger circle, gue tidak percaya diri naik ke panggung, gue hanyalah siswa biasa dengan teman yang itu-itu saja. Dan satu hal, menjadi pusat perhatian adalah sebuah masalah. Itulah Dea yang sekarang.

Awalnya gue sempat in denial. “Ini bukan Dea yang seharusnya”, pikir gue. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, gue sadar, justru inilah Dea yang sesungguhnya.

Well, gue bukanlah seseorang yang sepenuhnya introvert. Memang kenyataannya kepribadian tidak ada yang sama sekali sepenuhnya introvert maupun extrovert. Para ahli mengatakan, orang cenderung memiliki salah satu yang lebih dominan. Mungkin porsi antara sisi introvert dengan sisi extrovert gue tidak terlalu jauh berbeda. Gue masih bisa merasakan sisi extrovert gue ketika gue mau. Dan itu tidak sedikit. Hanya saja, sisi introvert gue lebih dominan ketimbang sisi extrovert gue. Gue tidak bisa bicara banyak mengenai konsep introvert maupun extrovert lebih dalam lagi. Nanti, kalau sudah baca bukunya Susan Cain, mungkin bisa. Hihihi.

So what is introvert actually? Menurut Beth Buelow, pendiri utama The Introvert Enterpreneur Washington, seorang introvert memiliki kecenderungan terbangkitkan dengan waktu sendiri. Ia merupakan seorang pendengar yang baik, berpikir hati-hati sebelum bicara atau bertindak, dan lebih memilih mengungkapkan perasaan secara tertulis ketimbang berbicara. Susan Cain says we introverts, are especially empathic. We think in an unusually complex fashion. We prefer discussing values and morality to small talk about the weather. We desire peace. We're modest. The introvert child is an orchid – who wilts easily, is prone to depression, anxiety and shyness, but under the right conditions can grow strong and magnificent. Sedangkan menurutnya, seorang extrovert memiliki kepribadian suka berteman, alpha, dan nyaman dalam sorotan.

Gejala-gejala introversi gue baru gue sadari pas SMA. I didn’t find school organizations, extra-curricular, or kepanitiaan school-events interesting. Gue lebih suka langsung pulang ke kost-an sepulang sekolah, ketimbang ngobrol nggak penting di sekolah atau rapat. Dulu, gue selalu sampai di kost-an duluan dibanding teman-teman yang lain. Yang lain sering pulang malem karena pasti ada aja kegiatannya di sekolah. Sedangkan gue, ya langsung pulang, karena memang nggak ada kegiatan apa-apa. Gue lebih memilih langsung pulang, diam di kamar, dan melakukan apa yang bisa gue lakukan ketika sendirian. Seperti membaca, menulis (kaya nulis blog begini), belajar, merenung, mendengarkan musik, atau tidur. Aloneness is something that I’m very comfortable with. I’m alone, but I’m not lonely.

Kadang gue sempet mikir, “Ada yang salah nih sama gue,”. Tapi, setiap kali gue mencoba untuk keluar dari hal yang menurut gue salah itu, gue tidak merasa nyaman. Gue tidak menjadi diri sendiri. Gue mencoba keluar dari diri gue. Gue mencoba untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang ada. Dan gue tidak sanggup, sehingga pada akhirnya gue kembali pada form yang gue pikir salah. Susan Cain bilang, we introverts attempt to emulate extroverts, and the stress of not being "true to ourselves" can make us physically and mentally ill. Yeah, I’ve been there.

Untungnya semua tidak berlangsung lama. Gue akhirnya sadar bahwa tidak ada yang salah with me being an introvert. Gue nyaman dengan ini, dan beginilah gue. Gue memang bukan orang yang amat begitu introvert. Orang-orang bisa aja menyangka gue adalah seorang extrovert. Mungkin karena sisi extrovert gue masih cukup banyak, gue tidak pernah minder dengan sisi introvert gue. Tapi sayangnya, gue sering melihat orang-orang introvert di sekeliling gue merasa minder. Kebanyakan dari mereka menghindar sejauh mungkin dari crowd, merasa terlalu rendah diri, dan terlalu menutup diri. Ujung-ujungnya mereka merasa tertekan hidup di tengah kehidupan sosial.

Bukannya berniat untuk menggurui. Gue hanya ingin berbagi apa yang gue alami. Menjadi introvert tuh bukan hal yang salah lagi! Nikmati aja. For those introverts out there, don’t ever be MINDER! Introverts are not antisocial person. Kalian adalah orang yang memberi pengaruh sosial terbesar. Kalian lebih memiliki kemampuan membuat keputusan, mampu memelihara hubungan yang awet, dan memancarkan rasa tenang di tengah gaya hidup yang serba hiruk-pikuk. Jangan pernah mencoba menjadi diri kalian yang bukan sesungguhnya. Jangan pernah merasa bahwa diri kalian lemah. Jadikan apa yang orang-orang anggap sebagai kelemahan, menjadi sebuah kekuatan. Gandhi, Steve Wozniak, dan J. K. Rowling telah membuktikan bahwa introvert bisa menjadi orang hebat. Kalau mereka bisa, kenapa kita enggak?

image credit: gregpiatskowski.com
article links: 
The Guardian
Tabloidnova.com
Kompas.com

5 February 2014

Parents Know You Best!

Kemarin gue nelfon nyokap gue yang berada nun jauh di Sumatra.
Biasanya gue kalo nelfon tuh selalu ditanyain gini, "Kenapa, De? Uangnya habis?". Agak miris ya dengernya wkwkwk. Berarti gue nelfon kalau lagi butuh uang bulanan doang.
Enggak kok, Ma, Pak. Sebenernya pengen nelfon, tapi kan jarang ada pulsa telfon. Maklum, mahasiswa. Jomblo lagi kan #eh.

Mungkin ada yang bingung kenapa orang tua gue ada di Sumatra. Nope, gue bukan anak perantauan. Justru nyokap gue lah yang merupakan orang perantauan. Keluarga gue dari tahun 1983 udah tinggal di Jakarta (pinggiran sih wkwk). Kakak gue yang pertama doang yang lahir di Yogyakarta. Kakak kedua gue sama gue dilahirkan di Jakarta. Ya intinya kami dibesarkan sejak kecil di Jakarta.

Nyokap gue adalah seorang wanita karier. Beliau sudah berkarier di tempat kerjanya sekarang ini sekitar 29 tahun terakhir. Singkat cerita, tahun 2012 kemarin nyokap gue dipindahtugaskan ke Jambi. Sebenernya nyokap gue udah sering ditawarkan untuk pindah tugas ke luar kota. Ini demi peningkatan kariernya juga. Tapi nyokap gue menolak karena daerah-daerah yang pernah ditawarkan kurang strategis. Bukannya gimana-gimana, lokasinya yang jauh dengan Jakarta amat dipertimbangkan.

Pada tahun 2012, nyokap gue akhirnya memutuskan untuk take the offer and the risks. Jadilah nyokap gue berangkat dan menetap di sana, ditemani dengan bokap gue yang sudah pensiun sejak tahun 2007. Gue, yang waktu itu udah jadi anak tunggal (karena kakak gue udah pada nikah), sebenernya sedih banget waktu tahu kalau nyokap bokap gue bakal menetap di luar kota untuk jangka waktu yang cukup lama. It means gue ditinggal di Jakarta sendirian, huhuhu. Tapi gue harus rela. Toh, ini semua buat gue juga.

So... Beginilah kehidupan gue satu setengah tahun terakhir ini. Ditinggal di Jakarta sendirian, di rumah cuma sama si mbak. Sebenernya nggak ada perbedaan signifikan sih begitu nyokap bokap gue pergi ke luar kota. Soalnya gue sejak tahun 2010 kan lebih sering tinggal di kostan. Paling yang beda ya cuma kalau pulang ke rumah ya nggak ketemu Mama & Bapak.

Alhamdulillah, selama ini nyokap bokap gue rutin banget pulang ke Jakarta. Kira-kira sebulan sekali lah mereka ke Jakarta. Jadi gue jarang banget merasa kangen berlebihan sama mereka. Ada sih saatnya gue down banget, sedih karena jauh dari orang tua. Tapi nggak sering. Itu cuma kalau lagi mellow aja.

Oh, back to the topic, kemarin tuh gue lagi pengen banget curhat sama nyokap gue. Akhirnya gue minta ditelfon deh, hahahaha nggak mau rugi. Orang tua tuh memang yang paling mengerti anak. Nggak salah gue kemarin konsultasi sama nyokap gue. Jadi kemaren gue itu ceritanya lagi bingung mau daftar apa untuk kegiatan non-akademis di kampus. Soalnya bulan-bulan begini banyak oprec everywhere. Terutama yang organisasi. Karena gue merasa gue masih bingung arah hidupnya ke mana, alhasil gue nelfon nyokap gue.

Dan banyak banget yang gue dapatkan dari Mama. Gue puas banget sama jawabannya Mama. Menjawab kegalauan dan kebingungan gue. Ya, intinya sekarang ini bukan lagi saatnya ngikutin temen. Sekarang kita harus udah tau mau ke mana. Bagus buat orang lain, belum tentu buat diri kita. Jadi jangan sekali-sekali ngikutin orang lain. Just be yourself. Nggak usah ikut-ikutan angin mengarah ke mana dan air mengalir ke mana.

Setelah dapat pencerahan, gue sekarang udah bisa figure out sebenernya mengarah ke mana gue ini. Kemarin-kemarin ini gue masih sering kepengaruh sama temen-temen gue. Temen gue begini, gue ikutan. Temen gue begitu, gue ikutan. Orang ngomong begini, gue terpengaruh. Orang ngomong begitu, gue terpengaruh. Jadi membuat gue nggak tahu harus mengarah ke mana karena selalu ingin berpindah arah tiap kali ada penunjuk arah yang berbeda.

Inti yang ingin gue sampaikan di sini adalah, kalau lo lagi galau dan bingung ingin bertanya pada siapa, tanyakan aja sama orang tua. Because they know you best. Insya Allah, jawaban mereka adalah jawabannya Allah SWT. Kan ridho-nya mereka, ridho Allah SWT. Eh, tapi jangan tanya soal UAS yang belum keluar ya hahaha #nggaklucu.