19 April 2014

Bahagia itu Pilihan

Bahagia tuh bukan ditentukan berdasarkan harta yang kita miliki, gelar yang kita miliki, dan seberapa banyak barang branded yang kita miliki. I just find out, bahagia itu.... Pilihan kita sendiri. Bukan pilihan uang itu, barang branded itu, atau gelar itu.

Nggak peduli lo anak pejabat, anak tukang koran, anak pengusaha, anak pegawai kelurahan, anak tukang ojek, anak pengangguran, gue kasih tau: Lo. Bisa. Bahagia. Gue tekankan, bahagia itu pilihan.
HAHAHAHAHA I sound so sotoy, ya. Maapin deh, yak. Emang saya kebiasaan suka sotoy.

Tapi baca dulu dong.

Jangan langsung ngeklik exit tab gitu.

WKWKWKWK.

Okay. So, at least that's what I learned.

Tau nggak sih, dunia kita itu ya sebenernya kita sendiri yang menciptakannya menjadi seperti apa. Lo bisa bahagia karena lo memilih untuk berbahagia. Lo bisa sedih karena lo memilih untuk bersedih. But..... What I learned sih, it's not that easy to change your sadness into happiness. But actually it's possible. Very possible! Makanya gue bilang bahagia itu pilihan.

Kenapa gue bilang it's not that easy but it's possible? Karena kita selalu memiliki standard yang sudah kita pasang untuk mengukur sebuah kebahagiaan. Ketika lo belum mencapai standard yang sudah lo buat itu, lo tidak akan mencapai kebahagiaan itu. Yang bisa kita lakukan untuk mencapai kebahagiaan artinya adalah, either dengan mencapai standard tersebut ATAU merendahkan/mengubah standard itu. Selama ini kita terlalu sibuk mencapai standard yang telah kita buat sendiri. Padahal ada hal lain yang dapat kita lakukan untuk mencapainya. Ya, merendahkan atau bahkan mengubah standard itu, sehingga kita tidak perlu kerepotan dalam mencapai standard yang aneh-aneh. Turunin aja standard lo sampai pada posisi apa yang dapat kita miliki, bukan pada apa yang harusnya kita miliki. Atau sekalian ubah standard lo menjadi sebuah standard yang diukur dari apa yang lo miliki saat itu.

Sampai sini ngerti nggak maksud gue?

Baru-baru ini temen gue di kelas MPKT A memaparkan fakta mengenai survei terpercaya yang mengatakan bahwa warga Korea Utara adalah orang-orang terbahagia di dunia. Kok bisa? Nah, itu juga pertanyaan yant ada dalam benak gue. Tapi setelah mendapatkan pengalaman berharga, gue akhirnya jadi ngerti sendiri kenapa mereka bisa bahagia. They are happy because they choose to be happy.

Mereka tidak sibuk melihat ke dunia luar. Padahal kalau dilihat dari kacamata orang-orang pada umumnya, tinggal di Korea Utara itu nggak enak! Dikekang, keras, nggak demokratis, nggak bebas. Standar manusia terpaku pada: bahagia itu tinggal di negara maju yang menjunjung tinggi demokrasi. Tetapi North Korean people choose to be happy karena yang mereka miliki bukan standard ala-ala begitu. Nah sampai sini, ngerti kan ya maksud gue?

I'm gonna tell you a short story yang baru-baru ini gue alami. Tapi ini gue jadiin perumpamaan ya, soalnya gue malu kalau harus diceritain terang-terangan di sini, hehehe.

Nah, anggaplah sesosok 'gue' adalah seekor kucing rumahan yang ingin keluar dari rumah majikannya.

"Gue bete deh kalo ngeliat kucing-kucing liar yang suka ngobrolin kesehariannya di atap rumah. Dikira gue nggak tersinggung apa. Tadinya mau gue marahin, "Diem lo pada!!!". Tapi gue urungkan niat gue itu. Entar kalo beneran gue ngomong gitu, gue diajakin berantem lagi. Mane bisa gue berantem. Kerjaan gue cuma makan, tidur, nonton TV, fashion show, sama dengerin curhat tuan putri gue. Nyali gue kecil. Badan gue doang yang gede nih, gara-gara kebanyakan makan. 

Tapi emang gue tuh sering ngiri liat kucing-kucing liar itu. Ditambah lagi ngedengerin keseharian mereka yang ngomongin kucing daerah Pamulang, daerah Kebayoran, daerah Kemang, sampe daerah Menteng segala. Gaul banget, brobro!

Jadi kucing liar itu seru. Mereka itu bebas, punya banyak temen, jago berantem, bisa makan apa aja, punya kenalan banyak, punya geng pula! Gue juga suka ngiri ngeliatin mereka bebas banget boker dan pipis di mana aja. Lah gue?! Gue kalo boker sama pipis harus di kotak ungu-ungu yang udah ditempatin deket tangga itu. Males banget nggak sih, lagi enak-enak nonton TV, terus kalo kebelet boker harus lari dulu ke tangga. Nahan boker dikira gampang apa?! Entar kalo gue bokernya berantakan, gue kena marah :-(

Gue kalo makan, harus makan sereal yang gambarnya muka temen-temen gue. Tidak berperikucingan banget sih. Terus gue diatur-atur banget, suruh makan inilah, itulah, blablablabla. Rese tau nggak. Ada jadwal ke dokter lah, ada jadwal mandi lah, potong kuku lah. Ini kadang gue malah dipakein kain warna warni. Mending kalau gue dipakein kostum Batman biar lebih macho, lah ini kostum Barbie?! Temen-temen tuan putri suka semena-mena banget nganggep gue kucing betina. Dielus-elus, dimanja-manja, seakan-akan gue lemah. Tapi emang gue lemah sih. Keahlian gue cuma tidur..... Sama fashion show...."

Nah, itu tadi sebuah gambaran sudut pandang kucing rumahan. Yeah, life sucks for him. Tapi pasti lain lagi kalau dilihat dari kucing liar. Atau bagaimana jika dilihat dari majikannya? Atau dilihat dari orang awam? Ya jelas, kehidupan si kucing rumahan is like heaven, ya.

Kenapa kira-kira si kucing rumahan bisa berpikir kaya gitu? Jawabannya, karena dia selalu terpaku pada WHAT HE DOESN'T HAVE, bukan pada WHAT HE HAS. Itulah poin gue. Poin kenapa banyak orang nggak bahagia di saat ada alasan untuk bahagia. Standard kebahagiaan si kucing rumahan hanya dipatok dari kebebasan. Padahal dia bisa saja bahagia dengan mengubah standardnya. Inilah standard yang gue bicarakan di awal tadi.

Si kucing rumahan yang membuat dirinya sendiri terkekang atas peraturan tuannya. Padahal kalau mau, dia bisa saja memilih berbahagia atas peraturan-peraturan yang ada. Dia bisa saja bahagia kalau dia berfokus pada apa yang dia miliki, seperti tempat tidur, perawatan rutin, makanan yang tersedia tiap hari, dan sebagainya. Coba dilihat dari sudut pandang kucing liar, kucing liar pasti iri dengan kemewahan dan kemudahan yang dimiliki kucing rumah. Dia memiliki kebebasan dan ketahanan banting yang tinggi, tetapi tidak memiliki kemewahan dan kemudahan. Dapet makanan dari tong sampah aja udah alhamdulillah banget.

Nah, kucing liar pun sebenarnya juga bisa berbahagia. Nggak usahlah saling iri. Once again, focus on what you have! Kucing liar bisa saja bahagia kalau dia berfokus pada apa yang dia miliki, seperti kebebasan untuk boker di mana saja, tempat yang fleksibel, dan ketahanan banting sekelas Iko Uwais.

Seorang anak konglomerat yang super kaya belum tentu bahagia kalau dapet kado baju dari ITC. Dia baru akan bahagia kalau dikasih sepatu Chiara Ferragni yang sudah dia idam-idamkan sejak lama. Kemungkinan tuh baju nongkrong di lemarinya atau dikasih ke tukang kebunnya. Seorang anak pengemis mungkin saja bahagia kalau dapet kado baju dari ITC. Sudah sejak lama dia mengincar baju yang dipajang di mannequin ITC itu. Selama ini dia cuma ngemis-ngemis di depan ITC, ngiler ngeliatin banyak banget orang-orang bawa belanjaan.

Banyak orang tajir di sekeliling gue yang kelihatannya bahagia bisa beli apa aja, tapi di dalamnya justru rapuh karena punya masalah yang nggak kelihatan di raut wajah bahagianya. Dan ternyata banyak pengamen yang kelihatannya menyedihkan, tapi bahagia-bahagia aja karena setiap hari kerjaannya cuma nyanyiin lagu kesukaannya, kemudian dari situ bisa makan kenyang.

Banyak fashionista yang nggak pernah nemuin titik bahagia karena selalu ada aja pakaian atau accessories yang belum kebeli, tapi ada aja orang yang bahagia hanya dengan beberapa kaos andalan dan satu-satunya jeans belel.

Banyak orang di luar sana yang merasa kekurangan di saat mereka berlebihan.

Sayang sekali.
Masih terlalu banyak manusia yang terpaku pada sebuah standard yang kemudian menyulitkannya untuk mencapai kata bahagia. Terlalu sibuk memikirkan what we don't have, rather than what we have. Terlalu sibuk mengejar what we don't have, rather than mensyukuri what we have. Teralu sibuk fokus pada what we don't have, rather than what we have.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana Rumah Makan Padang, sesederhana gang Bahagia deket rumah gue, dan sesederhana lagunya Pharrel William. "Because I'm happy, clap along if you feel like happiness is the truth".

Ada quote bagus dari Fraud Clauss (2007):

"The world is what you make it. It all starts with what you make of yourself."

18 April 2014

Dear Jakartans

Gila, kasus di Jakarta makin aneh-aneh aja, ya. Dimulai dari kasus pembunuhan duo partner in crime (literally) PsycoPath yang masih amat muda itu. Kemudian kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang bocah umur lima tahun di sekolahnya, sekolah bertaraf internasional yang nggak sembarangan orang bisa sekolah di situ. Dan yang terbaru, kasus Dinda yang heboh di sosial media.gara-gara omelannya terhadap ibu hamil yang meminta tempat duduk kepadanya di Commuter Line.

Jakartans are getting nuts.

Di sini, gue sebagai pengguna setia angkutan umum, ingin turut berkomentar dalam kasus Dinda. Sebenernya gue juga ingin berkomentar mengenai kasus pelecehan seksual, tetapi yang keluar nanti hanya segala macam f-words dan kebun binatang. Jijik banget gue liat muka pelakunya. What are they thinking? What's in their heads? Ugh, cukup. Nanti semua f-words dan kebun binatang beneran keluar semua.

Nah, ini dia status Path seorang Dinda yang menghebohkan dunia sosial media.



Dinda akhirnya meminta maaf atas komen pedasnya di Path.
Btw, jahat juga ya temennya Dinda yang screen shot status Path-nya itu sampai bisa tersebar ke seluruh sosial media. Hahahaha.

Sebenernya kasus Dinda ini bisa dilihat dari dua sisi. Dari sisi Dinda, sebagai pengguna KRL yang kursi-oriented, mungkin hal ini dapat dipahami. "Gue udah bela-belain dapet tempat duduk, terus baru sebentar duduk, gue harus ngasih tempat duduk ini ke orang lain? No way. Sia-sia perjuangan gue ngedapetin tempat duduk ini", begitulah kira-kira pemikiran dia dari yang gue tangkap. Orang-orang kursi-oriented ini banyak lho, buktinya ada teman-teman Dinda yang sependapat dan justru pro dengan komentar pedas Dinda. Perlu diketahui, pengguna angkutan umum, terutama angkutan umum semacam kereta dan bis, terdiri atas beberapa tipe. Nah, salah satunya itu ya tipe Dinda dan kawan-kawannya itu, kursi-oriented. Tipe-tipe ini dapat gue identifikasi berdasarkan observasi gue selama bertahun-tahun jadi pengguna setia busway dan sembilan bulan jadi pengguna setia Commuter Line. Wkwkwkwk.

Mungkin nanti, kalau ada waktu, gue akan menulis beberapa tipe pengguna KRL dari kacamata gue. Muahahaha, ini seru sekali bung. Iya, ngomongin tipe-tipe pengguna KRL itu seru. Tapi nanti aja deh ya. Sekarang gue mau komentar dulu soal kasus Dinda ini.

Nah, itu tadi dari sisi Dinda. Kalau dari sisi ibu hamil, ya ini tidak bisa dipahami. Wong kita memang jadi prioritas di antara ratusan pengguna KRL ini. Lagian, keberadaban manusia masih ada kan di Jakarta?!!!!

Kita harus melihat sesuatu dari berbagai sisi. Nggak boleh egois. Manusia diciptakan dengan akal dan perasaan pasti ada tujuannya. Jadi, buat mbak Dinda dan Dinda-Dinda lainnya, please perdalam lagi rasa empatinya. Semua manusia diberi kemampuan berempati kok. Tinggal bagaimana kita mengasah kemampuan itu.

Semoga kasus ini bisa membuka mata, hati, dan telinga para kursi-oriented yang ada di Jakarta, atau bahkan di Indonesia. Karena, gue akui, orang-orang dengan kursi-oriented itu BANYAK. Ini berdasarkan pengalaman gue sendiri sebagai pengguna setia busway, patas AC, dan KRL. Gue kadang suka sebel ngeliat orang-orang cuek ngeliat nenek-nenek atau kakek-kakek berdiri, nggak dapet tempat duduk. Kejadian seperti ini sering terjadi. SERING, gue ulangi. Aduh, di mana sih hati orang-orang Jakarta ini? Saking sibuk ngasah otak buat cari duit, hatinya udah nggak diasah lagi?

Gue sendiri suka heran. Apa sih yang ada di pikiran mereka? Di mana kemampuan berempatinya?

Pernah ada suatu kejadian di Commuter Line yang bikin gue kesel sejadi-jadinya. Jadi, waktu itu, berjarak 1 km dari gue ada seorang nenek-nenek yang nggak kebagian tempat duduk. Awalnya gue ngediemin aja, karena tuh nenek-nenek jauh jaraknya dari gue. Seharusnya yang ada di deket dia dong, yang ngasih tempat duduk? Tapi, gue tunggu lima menit, tuh nenek-nenek masih aja berdiri. Nggak ada satu pun yang ngasih tempat duduk. Gue gemes sendiri ngeliatnya. HELLO, WHAT ARE YOU THINKING KURSI-ORIENTED PEOPLE?

Abis itu gue berdiri, gue langsung lari mendekati nenek itu (biar orang-orang tahu tempat duduk yang gue tinggalin itu buat nenek ini), terus gue colek nenek itu, "Bu, duduk di sini,", sambil menunjuk tempat duduk gue. Eh, pas gue nengok ke tempat duduk gue, MBAK-MBAK NGEDUDUKIN TEMPAT DUDUK ITU!!!!!!!! !#$%&@(*(). SAKIT HATI. Dafuq. "Lo liat nggak woy ada nenek-nenek yang daritadi berdiri dicuekin!!!!!!". Astaghfirulloh, kesel banget gue ngeliatnya. Gue nggak rela ya berdiri cuma demi ngasih duduk ke mbak-mbak itu. Lebih ngeselin lagi, orang-orang nggak ada yang memperingatkan mbak itu. Gue kan jadi merasa bersalah, gara-gara PHP sama neneknya. Alhamdulillah, nggak lama setelah kejadian itu, ada orang yang memang pengen turun sehingga nenek itu akhirnya mendapatkan tempat duduk. Still, walaupun tuh nenek akhirnya duduk, tetep aja gue jadi kesel gara-gara tempat duduk yang gue kasih bukan diduduki oleh orang yang lebih berhak dari gue. Mukanya nggak ada merasa bersalah sama sekali lagi. Hhhhhh, gue masih emosi sendiri kalau nginget-nginget itu lagi.

Ini baru satu kejadian dari sekian kejadian menyayangkan yang gue alami. Tapi yang barusan gue ceritain itu yang paling bikin gue kesel sendiri. Ya, sebenernya nggak semua pengguna KRL keras hati juga. Ada ajaaa pengguna yang bikin hati gue adem sendiri ngeliatnya. Tapi kalau gue perhatikan ya, pengguna KRL lebih kejam dari pengguna busway. Mungkin karena jarak tempuh KRL lebih panjang kali ya daripada busway.

Pernah suatu ketika, pas gue naik busway di Kuningan, gue dikasih tempat duduk sama cowok. Did I look that old? HAHAHAHA. Jadi waktu itu ceritanya gue naik di bagian belakang busway (yang laki-laki dan perempuan digabung itu), terus dari semua yang berdiri, gue doang yang cewek. Dan ternyata masih ada mas-mas yang malu sendiri ngeliat cewek berdiri, sedangkan dia duduk. Ya ampun, alhamdulillah ternyata orang-orang seperti itu masih ada di Jakarta.

Sekali lagi, semoga kasus Dinda ini menyadarkan para kursi-oriented yang ada di Jakarta. Sebenernya semua orang punya sisi kursi-oriented. Gue sendiri sebenernya ada sisi kursi-oriented nya juga. Siapa sih, yang nggak mau kebagian tempat duduk di kereta? Tapi, pintarlah-pintarlah dalam mengelola emosi. Kita dikasih hati supaya bisa memiliki kemampuan berempati. Sudah diberi kemampuan berlebih dibanding mahkluk lain, masa' nggak digunakan dengan baik?

Dear Jakartans, cuma mau pesen, jangan cuma otak doang yang diasah, hati juga. #selfreminderjuga



6 April 2014

Top and Best

Lagi suka banget sama Best Day of My Life-nya American Authors & On Top of The World-nya Imagine Dragons. Sukaaaaaaa banget! Musiknya ngebeat, bikin semangat. These songs give me some spirits to enjoy life. Kalau lagi suntuk, bete, sedih, stress, pusink, enek sama hidup, coba deh dengerin dua lagu ini. Bisa ngilangin stress dan semangat, menyadarkan kita bahwa... We can be the top of the world and make everyday as the best day of our life!

"I had a dream so big and loud 
I jumped so high I touched the clouds 
Wo-o-o-o-o-oh [x2]
I stretched my hands out to the sky 
We danced with monsters through the night 
Wo-o-o-o-o-oh [x2]

I'm never gonna look back 
Woah, never gonna give it up 
No, please don't wake me now"


Best Day of My Life - American Authors


"Cause I’m on top of the world, ‘ay
I’m on top of the world, ‘ay
Waiting on this for a while now
Paying my dues to the dirt
I’ve been waiting to smile, ‘ay
Been holding it in for a while, ‘ay
Take you with me if I can
Been dreaming of this since a child
I’m on top of the world.

I’ve tried to cut these corners
Try to take the easy way out
I kept on falling short of something

I coulda gave up then but
Then again I couldn’t have ’cause
I’ve traveled all this way for something"

On Top of The World - Imagine Dragons