11 February 2014

Introvert


When you're at a party, do you suddenly feel the derperate urge to escape somewhere quiet such as a toilet cubicle and just sit there? Until I read Quiet, I thought it was just me. I'd see other partygoers grow increasingly effervescent as the night wore on and wonder why I felt so compelled to go home. I put it down to perhaps there not being enough iron in my diet. But it's not just me. It's a trait shared by introverts the world over. We feel this way because our brains are sensitive to overstimulation. I am genuinely astonished by this news. In fact, I read much of Susan Cain's book shaking my head in wonder and thinking: "So that's why I'm like that! It's because I'm an introvert! Now it's fine for me to turn down party invitations. I never have to go to another party again!"

Paragraf di atas adalah penggalan artikel yang baru-baru ini gue baca. Ditulis oleh Jon Ronson dari The Guardian. Artikel tersebut membahas buku Susan Cain yang berjudul Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking. Begitu membaca artikel tersebut, ketertarikan gue dengan topik ini semakin besar. “Ini gue banget!”, pikir gue. As soon as possible, gue akan beli buku Susan Cain ini, dan membagi apa yang gue dapatkan di sini. Duh, jadi nggak sabar pengen cepet-cepet beli bukunya.



Dulu, waktu duduk di bangku SD, I didn’t find myself an introvert. Gue punya banyak teman, gue senang bermain dengan orang banyak, gue doyan panggung (karena sering disuruh naik ke panggung), gue sering ditunjuk menjadi perwakilan dalam berbagai lomba, guru-guru tahu gue. Pokoknya menjadi pusat perhatian bukanlah sebuah masalah.

Yeah, that was me.

Sampai akhirnya, ketika duduk di bangku SMP, semua berubah. Gue tidak lagi bergaul dengan banyak teman, gue tidak lagi bermain dengan bigger circle, gue tidak percaya diri naik ke panggung, gue hanyalah siswa biasa dengan teman yang itu-itu saja. Dan satu hal, menjadi pusat perhatian adalah sebuah masalah. Itulah Dea yang sekarang.

Awalnya gue sempat in denial. “Ini bukan Dea yang seharusnya”, pikir gue. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, gue sadar, justru inilah Dea yang sesungguhnya.

Well, gue bukanlah seseorang yang sepenuhnya introvert. Memang kenyataannya kepribadian tidak ada yang sama sekali sepenuhnya introvert maupun extrovert. Para ahli mengatakan, orang cenderung memiliki salah satu yang lebih dominan. Mungkin porsi antara sisi introvert dengan sisi extrovert gue tidak terlalu jauh berbeda. Gue masih bisa merasakan sisi extrovert gue ketika gue mau. Dan itu tidak sedikit. Hanya saja, sisi introvert gue lebih dominan ketimbang sisi extrovert gue. Gue tidak bisa bicara banyak mengenai konsep introvert maupun extrovert lebih dalam lagi. Nanti, kalau sudah baca bukunya Susan Cain, mungkin bisa. Hihihi.

So what is introvert actually? Menurut Beth Buelow, pendiri utama The Introvert Enterpreneur Washington, seorang introvert memiliki kecenderungan terbangkitkan dengan waktu sendiri. Ia merupakan seorang pendengar yang baik, berpikir hati-hati sebelum bicara atau bertindak, dan lebih memilih mengungkapkan perasaan secara tertulis ketimbang berbicara. Susan Cain says we introverts, are especially empathic. We think in an unusually complex fashion. We prefer discussing values and morality to small talk about the weather. We desire peace. We're modest. The introvert child is an orchid – who wilts easily, is prone to depression, anxiety and shyness, but under the right conditions can grow strong and magnificent. Sedangkan menurutnya, seorang extrovert memiliki kepribadian suka berteman, alpha, dan nyaman dalam sorotan.

Gejala-gejala introversi gue baru gue sadari pas SMA. I didn’t find school organizations, extra-curricular, or kepanitiaan school-events interesting. Gue lebih suka langsung pulang ke kost-an sepulang sekolah, ketimbang ngobrol nggak penting di sekolah atau rapat. Dulu, gue selalu sampai di kost-an duluan dibanding teman-teman yang lain. Yang lain sering pulang malem karena pasti ada aja kegiatannya di sekolah. Sedangkan gue, ya langsung pulang, karena memang nggak ada kegiatan apa-apa. Gue lebih memilih langsung pulang, diam di kamar, dan melakukan apa yang bisa gue lakukan ketika sendirian. Seperti membaca, menulis (kaya nulis blog begini), belajar, merenung, mendengarkan musik, atau tidur. Aloneness is something that I’m very comfortable with. I’m alone, but I’m not lonely.

Kadang gue sempet mikir, “Ada yang salah nih sama gue,”. Tapi, setiap kali gue mencoba untuk keluar dari hal yang menurut gue salah itu, gue tidak merasa nyaman. Gue tidak menjadi diri sendiri. Gue mencoba keluar dari diri gue. Gue mencoba untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang ada. Dan gue tidak sanggup, sehingga pada akhirnya gue kembali pada form yang gue pikir salah. Susan Cain bilang, we introverts attempt to emulate extroverts, and the stress of not being "true to ourselves" can make us physically and mentally ill. Yeah, I’ve been there.

Untungnya semua tidak berlangsung lama. Gue akhirnya sadar bahwa tidak ada yang salah with me being an introvert. Gue nyaman dengan ini, dan beginilah gue. Gue memang bukan orang yang amat begitu introvert. Orang-orang bisa aja menyangka gue adalah seorang extrovert. Mungkin karena sisi extrovert gue masih cukup banyak, gue tidak pernah minder dengan sisi introvert gue. Tapi sayangnya, gue sering melihat orang-orang introvert di sekeliling gue merasa minder. Kebanyakan dari mereka menghindar sejauh mungkin dari crowd, merasa terlalu rendah diri, dan terlalu menutup diri. Ujung-ujungnya mereka merasa tertekan hidup di tengah kehidupan sosial.

Bukannya berniat untuk menggurui. Gue hanya ingin berbagi apa yang gue alami. Menjadi introvert tuh bukan hal yang salah lagi! Nikmati aja. For those introverts out there, don’t ever be MINDER! Introverts are not antisocial person. Kalian adalah orang yang memberi pengaruh sosial terbesar. Kalian lebih memiliki kemampuan membuat keputusan, mampu memelihara hubungan yang awet, dan memancarkan rasa tenang di tengah gaya hidup yang serba hiruk-pikuk. Jangan pernah mencoba menjadi diri kalian yang bukan sesungguhnya. Jangan pernah merasa bahwa diri kalian lemah. Jadikan apa yang orang-orang anggap sebagai kelemahan, menjadi sebuah kekuatan. Gandhi, Steve Wozniak, dan J. K. Rowling telah membuktikan bahwa introvert bisa menjadi orang hebat. Kalau mereka bisa, kenapa kita enggak?

image credit: gregpiatskowski.com
article links: 
The Guardian
Tabloidnova.com
Kompas.com

No comments:

Post a Comment