When you're at a party, do you suddenly feel the derperate urge to escape somewhere quiet such as a toilet cubicle and just sit there? Until I read Quiet, I thought it was just me. I'd see other partygoers grow increasingly effervescent as the night wore on and wonder why I felt so compelled to go home. I put it down to perhaps there not being enough iron in my diet. But it's not just me. It's a trait shared by introverts the world over. We feel this way because our brains are sensitive to overstimulation. I am genuinely astonished by this news. In fact, I read much of Susan Cain's book shaking my head in wonder and thinking: "So that's why I'm like that! It's because I'm an introvert! Now it's fine for me to turn down party invitations. I never have to go to another party again!"
Paragraf di atas adalah penggalan artikel yang baru-baru ini gue baca.
Ditulis oleh Jon Ronson dari The Guardian. Artikel tersebut membahas buku Susan
Cain yang berjudul Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop
Talking. Begitu membaca artikel tersebut, ketertarikan gue dengan topik ini
semakin besar. “Ini gue banget!”, pikir gue. As soon as possible, gue akan beli
buku Susan Cain ini, dan membagi apa yang gue dapatkan di sini. Duh, jadi nggak
sabar pengen cepet-cepet beli bukunya.
Dulu, waktu duduk di bangku SD, I didn’t find myself an introvert. Gue
punya banyak teman, gue senang bermain dengan orang banyak, gue doyan panggung
(karena sering disuruh naik ke panggung), gue sering ditunjuk menjadi
perwakilan dalam berbagai lomba, guru-guru tahu gue. Pokoknya menjadi pusat
perhatian bukanlah sebuah masalah.
Yeah, that was me.
Sampai akhirnya, ketika duduk di bangku SMP, semua berubah. Gue tidak lagi
bergaul dengan banyak teman, gue tidak lagi bermain dengan bigger circle, gue
tidak percaya diri naik ke panggung, gue hanyalah siswa biasa dengan teman yang
itu-itu saja. Dan satu hal, menjadi pusat perhatian adalah sebuah masalah.
Itulah Dea yang sekarang.
Awalnya gue sempat in denial. “Ini bukan Dea yang seharusnya”, pikir
gue. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, gue sadar, justru inilah Dea yang
sesungguhnya.
Well, gue bukanlah seseorang yang sepenuhnya introvert. Memang
kenyataannya kepribadian tidak ada yang sama sekali sepenuhnya introvert maupun
extrovert. Para ahli mengatakan, orang cenderung memiliki salah satu yang lebih
dominan. Mungkin porsi antara sisi introvert dengan sisi extrovert gue tidak
terlalu jauh berbeda. Gue masih bisa merasakan sisi extrovert gue ketika gue
mau. Dan itu tidak sedikit. Hanya saja, sisi introvert gue lebih dominan
ketimbang sisi extrovert gue. Gue tidak bisa bicara banyak mengenai konsep
introvert maupun extrovert lebih dalam lagi. Nanti, kalau sudah baca bukunya
Susan Cain, mungkin bisa. Hihihi.
So what is introvert actually? Menurut Beth Buelow, pendiri utama The
Introvert Enterpreneur Washington, seorang introvert memiliki kecenderungan
terbangkitkan dengan waktu sendiri. Ia merupakan seorang pendengar yang baik,
berpikir hati-hati sebelum bicara atau bertindak, dan lebih memilih mengungkapkan
perasaan secara tertulis ketimbang berbicara. Susan Cain says we introverts,
are especially
empathic. We think in an unusually complex fashion. We prefer discussing values
and morality to small talk about the weather. We desire peace. We're modest.
The introvert child is an orchid – who wilts easily, is prone to depression,
anxiety and shyness, but under the right conditions can grow strong and
magnificent. Sedangkan menurutnya, seorang extrovert memiliki
kepribadian suka berteman, alpha, dan nyaman dalam sorotan.
Gejala-gejala introversi gue baru gue sadari pas SMA. I didn’t find
school organizations, extra-curricular, or kepanitiaan school-events
interesting. Gue lebih suka langsung pulang ke kost-an sepulang sekolah,
ketimbang ngobrol nggak penting di sekolah atau rapat. Dulu, gue selalu sampai
di kost-an duluan dibanding teman-teman yang lain. Yang lain sering pulang
malem karena pasti ada aja kegiatannya di sekolah. Sedangkan gue, ya langsung
pulang, karena memang nggak ada kegiatan apa-apa. Gue lebih memilih langsung
pulang, diam di kamar, dan melakukan apa yang bisa gue lakukan ketika
sendirian. Seperti membaca, menulis (kaya nulis blog begini), belajar,
merenung, mendengarkan musik, atau tidur. Aloneness is something that I’m very comfortable
with. I’m alone, but I’m not lonely.
Kadang gue sempet mikir, “Ada yang salah nih sama gue,”. Tapi, setiap
kali gue mencoba untuk keluar dari hal yang menurut gue salah itu, gue tidak
merasa nyaman. Gue tidak menjadi diri sendiri. Gue mencoba keluar dari diri
gue. Gue mencoba untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang ada. Dan gue tidak
sanggup, sehingga pada akhirnya gue kembali pada form yang gue pikir salah. Susan Cain bilang, we
introverts attempt to emulate extroverts, and the stress of not being
"true to ourselves" can make us physically and mentally ill.
Yeah, I’ve been there.
Untungnya
semua tidak berlangsung lama. Gue akhirnya sadar bahwa tidak ada yang salah
with me being an introvert. Gue nyaman dengan ini, dan beginilah gue. Gue
memang bukan orang yang amat begitu introvert. Orang-orang bisa aja menyangka
gue adalah seorang extrovert. Mungkin karena sisi extrovert gue masih cukup
banyak, gue tidak pernah minder dengan sisi introvert gue. Tapi sayangnya, gue
sering melihat orang-orang introvert di sekeliling gue merasa minder.
Kebanyakan dari mereka menghindar sejauh mungkin dari crowd, merasa terlalu rendah
diri, dan terlalu menutup diri. Ujung-ujungnya mereka merasa tertekan hidup di
tengah kehidupan sosial.
Bukannya berniat untuk menggurui. Gue hanya ingin berbagi apa yang gue
alami. Menjadi introvert tuh bukan hal yang salah lagi! Nikmati aja. For those
introverts out there, don’t ever be MINDER! Introverts are not antisocial
person. Kalian adalah orang yang memberi pengaruh sosial terbesar. Kalian lebih
memiliki kemampuan membuat keputusan, mampu memelihara hubungan yang awet, dan
memancarkan rasa tenang di tengah gaya hidup yang serba hiruk-pikuk. Jangan
pernah mencoba menjadi diri kalian yang bukan sesungguhnya. Jangan pernah
merasa bahwa diri kalian lemah. Jadikan apa yang orang-orang anggap sebagai
kelemahan, menjadi sebuah kekuatan. Gandhi, Steve Wozniak, dan J. K. Rowling
telah membuktikan bahwa introvert bisa menjadi orang hebat. Kalau mereka bisa,
kenapa kita enggak?
No comments:
Post a Comment