20 January 2014

Bunglon





Manusia itu ternyata… Bagaikan bunglon.

Bunglon, kalau kata kamus sih, adalah kadal yang hidup di pohon, dapat bertukar warna menurut tempatnya. Menangkap dari definisi tersebut, manusia sebelas dua belas lah ya sama bunglon. Kenapa gue katakan seperti itu? Karena sama seperti bunglon, manusia memiliki fleksibilitas yang cukup tinggi dalam mengubah warna ‘kulit’nya. Let’s just say, kulit bagi bunglon adalah pakaian bagi manusia (humans can not change their skin like bunglon lol). Entah ya, bunglon mengubah warna kulitnya under conscious or not, but most of humans do this unconsciously. Terkecuali yang memang memiliki banyak warna ‘pakaian’ ya, hehehe.

Pakaian, dalam tanda kutip, yang gue maksud adalah sesuatu yang membungkus manusia yang memberikan bentuk pada manusia itu. Nah, ‘pakaian’ tersebut merupakan kombinasi antara perilaku, sudut pandang, cara berpikir, dan sebagainya. Hngggg…….. Maaf ya agak sotoy, hahaha.

Sebenarnya kesimpulan kalau manusia dan bunglon are similar itu gue dapatkan dari pengalaman hidup gue sendiri. Exactly-nya sih terinspirasi sama ucapan seorang teman yang waktu itu lagi berdiskusi tentang cara berpakaian muslimah yang benar. Sama seperti gue, dia memakai kerudung. Kalau dalam aturan Islam, pakaian muslimah itu tidak ketat dan menerawang. Sebenernya masih banyak sih, tapi waktu itu kita lagi concern sama baju ketat. Dia bilang kalau, “Gue kalau lagi ngaji yah pakai baju yang besar-besar. Tapi gue nggak janji kalau lagi ke kampus atau ke mana gitu. Kan mau ngikutin fashion, De”. Kemudian dia melanjutkan, “Manusia tuh kaya bunglon, tau. Kalau lagi di sini ya ngikutin ‘aturan’ sini. Kalau lagi di sana ya ngikutin ‘aturan’ sana”. And I was like, “Iya ya bener juga”.

Kemudian setelah mendengar perkataan dia, gue merasakan sendiri kalau kita, manusia, sebelas dua belas sama bunglon. Nggak hanya sekedar pakaian secara literal yang selalu menyesuaikan, tetapi pakaian dengan tanda kutip tadi, juga ikut menyesuaikan. Ada banyak sisi yang membuat ‘pakaian’ kita berbeda-beda di tiap lingkungannya. Dari mulai perilaku, sudut pandang, cara berpikir, sampai itu tadi, cara berpakaian itu sendiri. Well, apa yang gue bahas nanti nggak akan jauh-jauh dari kata pepatah, “Bergaul dengan tukang minyak wangi, maka kau akan terkena harumnya. Bergaul dengan tukang abu arang, maka kau akan terkena hitamnya”. Itu sih sebenernya kesimpulan dari pembahasan gue nanti.

Alhamdulillah gue diberkahi dengan keberadaan teman-teman yang datang dengan berbagai latar belakang. Teman-teman ini gue dapatkan dari lingkungan yang berbeda-beda. I’m glad that gue ternyata selama ini hidup di lingkungan yang cukup beragam sehingga mendapatkan pengalaman yang cukup beragam. Tapi alhamdulillah gue selalu mengambil positifnya (and mostly are positives).

Tanpa menyebutkan nama dan lingkungannya gue mungkin bisa berbagi pengalaman tentang apa yang gue dapatkan selama berteman dengan teman-teman yang amazing, tapi tidak secara gamblang.

Ada lingkungan yang membuat gue belajar menjadi seorang muslimah yang sempurna. Di sini gue mendapatkan teman-teman yang memiliki pemahaman agama yang dalam, sehingga gue banyaaaaak sekali belajar dari mereka. Berteman dengan mereka membuat gue sadar akan banyaknya kekurangan gue selama ini (dari sisi agama). Tekad untuk menjadi muslimah yang sesungguhnya menjadi amat besar. Selalu ada keinginan untuk menancapkan kepahaman agama lebih dalam setiap harinya. Terdapat kedamaian yang indah yang gue rasakan dari mereka. Tapi, ada kalanya gue merasa gue tidak bisa bebas menjadi diri gue yang sebenarnya. Apa ya maksudnya, suka kadang terbebani gitu kalau gue ini masih belum sepaham seperti mereka. Ada sebagian teman yang memang nggak cocok sama gue karena masih ada hal nyeleneh yang melekat pada diri gue. Tapi ada sih sebagian yang sama nyelenehnya kaya gue, makanya cocok. Pokoknya di sini gue menjadi orang yang religius deh. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah seseorang dengan tingkat religius yang cukup tinggi, melihat berbagai macam hal dari sudut pandang agama.

Berpindah lingkungan, pada lingkungan ini gue bisa mengekspresikan diri gue dengan sebenar-benarnya. Kalau dibilang paling nyaman, ya di sini tempatnya. Bersama teman-teman yang udah tau seberapa cepatnya gue mandi atau jadwal buang air besar gue. Menjadi diri sendiri, ya bersama mereka ini. Otak hemat/irit yang gue miliki ya keluaran mereka-mereka ini. Pokoknya kita punya kecocokan yang nggak ada duanya. Mulai dari otak hemat, selera humor, tingkat kegalauan, akademis, bercandaan, omongan berat, gosip, sampai norak-noraknya, hampir semuanya cocok. Pokoknya gue bisa menjadi diri gue sendiri tanpa harus ngumpet-ngumpetin diri gue yang sesungguhnya dari mereka. Sampai-sampai gue sering banget jadi bahan pembully-an. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah seseorang yang sederhana dan apa adanya.

Berpindah lingkungan, pada lingkungan ini gue menjadi sosok yang lebih dewasa. Bersamaan dengan itu, tingkat kegilaan bisa dibilang meningkat. Pokoknya temen-temen gue di sini jenisnya lebih beragam, nggak seragaman. Here, setiap orang punya peran masing-masing. Peran gue di sini, lebih ke sosok yang dewasa. Tapi karena ada temen gue yang gila, jadi gue suka ikut-ikutan gila. Pokoknya gue banyak belajar kegilaan dari dia deh. Banyak seru-seruannya kalau sama mereka. Well, tingkat kehedonan bisa meningkat sih ketika bersama mereka. Otak hemat yang sebenernya tertanam di gue harus dikendorkan. Nggak bisa deh, menilai sesuatu hanya dari sudut pandang agama. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah seseorang yang having fun, and fun, and fuuuuuun!

Berpindah lingkungan, pada lingkungan ini……. Full of gosips! Mau nggak didrama-dramain, tapi menurut gue hidup kita drama. Hahahaha ngomong apaansih. Setiap orang di sini punya ciri khas yang berbeda-beda. Gue masih susah menilainya in general. Intinya, ketika bersama mereka, insting ngegosip gue jadi besaaaaar sekali, karena mostly kerjaan kita ya ngegosip. Hahahaha, tapi nggak selalu lah ya. Ketika bergaul dengan mereka, Dea adalah seseorang yang lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Itu sih sebagian yang bisa gue bagikan. Intinya gaya ‘pakaian’ gue secara nggak sadar menyesuaikan dengan lingkungannya. Nggak tau ya, ini terjadi pada diri gue doang atau bagaimana. Yang selama ini gue rasakan sih, ya itu…. Kita memakai ‘pakaian’ yang berbeda pada tiap lingkungannya, tetapi bukan berarti diri kita adalah diri yang berbeda. Misalkan, simple-nya begini, ketika gue sedang bersama teman-teman yang religius, gue jadi tergerak oleh mereka untuk solat lima waktu pada awal-awal waktu solat. Gue sendiri memang sadar akan kewajiban solat. Jadi gue bersyukur sekali bisa diajak menunaikan solat, bukan guenya yang narik-narik orang buat, “Ayok, solat!”. But when I’m with not-so-religious friends, gue jadi ikut-ikutan menomorduakan solat karena kebawa suasana. Pada akhirnya gue yang ngajak, “Ayok, solat!”.


Haduh, pikiran manusia tuh ribet ya. Kaya pikiran gue ini. Sulit banget dituangkan dalam tulisan. Emang suka ada-ada aja yang melintas kalau lagi bengong di bis atau di toilet. Seperti pemikiran pada entry ini. Ya intinya sih begini; manusia kan pintar, dia bisa menyesuaikan dirinya di lingkungan yang berbeda-beda. Tetapi jangan sampai hal ini membuat kita tidak tahu, mana warna diri kita yang sesungguhnya. Intinya punya prinsip. Udah, gitu ajah. Hahaha maaf ya kalo nggak jelas. Have a good day, people!


Image credit to fotohewan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment